MANUSIA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN BINATANG (BELAJAR SETIA)

Melihat tweet Al-Ustadz Abdullah Sholeh Hadrami hafizhohullaah,

“Orang yang mengkhianati sahabatnya/kekasih/keluarga perlu dibelikan anjing untuk mengajarkan kepadanya kesetiaan.”

beliau menulis itu bukan sekedar untaian kata menjadi sebuah kalimat, karena memang salah satu bentuk pelajaran kesetiaan adalah kesetiaan anjing pada tuannya. Bahkan ada ulama yang menulis sebuah kitab yang diberi judul “Tafdhiilul kilaab ‘alaa katsiirin mimman labisats tsiyaabi”[Pengutamaan Anjing-Anjing Atas Banyak Orang Yang Memakai Pakaian]??

Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Kholaf bin Al-Marzaban. Beliau meninggal tahun 309H. Lihat Al-Bidayah wan Nihayah (XI/314) dan Al-Waafi bil Wafayaat (III/37). Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrohim Yusuf dan diterbitkan oleh Daarul Kutub Al-Mishriyah. Terdiri dari 39 halaman.

Penulis berkata di awal risalahnya: “Aku menyebutkan (kepadamu) –semoga Allah memuliakanmu-tentang zaman kita dan rusaknya hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlaq mereka rusak dan tabiat mereka tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari sahabat yang baik. Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk tidak menceritakan aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang sedang tersesat di sebuah jalan yang membingungkan. Semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia semakin jauh dari tujuan. Kenyataannya adalah sebagaimana yang aku paparkan.

Diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari rodhiyallohu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi kemudian mereka manusia (zaman ini) menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.”

Sebagian mereka berkata, “Dahulu kami khawatir para sahabat kami ditimpa kebanyakan janji dan terlalu sering meminta maaf (karena menyelisihi janji). Kami khawatir mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan mencampurkan permintaan maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang beralasan dengan kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah meninggal… (Maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka cuek dan tidak minta maaf).” {Fadhlul Kilab, hal 5-6).

Beliau juga berkata, “Ketahuilah semoga Allah memuliakanmu bahwa anjing lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apa-apa yang dimiliki oleh tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si anjing tetap menjalankan tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia tidak akan merendahkan tuannya meskipun tuannya merendahkannya.

Diriwayatkan kepada kami bahwa ada seseorang berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing membuat anjing itu lapar dan memukulnya, namun ia tetap menjalankan tugasnya.

‘Umar pernah melihat seorang arab badui membawa seekor anjing. ‘Umar pun berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui menjawab, “Wahai amirul mukminin, sebaik-baik sahabat adalah yang jika kau beri maka ia berterima kasih, dan jika kau tidak memberinya maka ia bersabar.” Maka ‘Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah sabhabatmu.”

Ibnu ‘Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang berterima kasih kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” (Fadhlul Kilab, hal.12) 

Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya adalah harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan yang khusus.
[Dikutip, disarikan dan disusun ulang dari buku “Hak-Hak Persaudaraan Islam” Asy-Syaikh Sholeh bin ‘Abdil’Aziz Alusy Syaikh, penerjemah Al-Ustadz Firanda Andirja MA., Penerbit Media Tarbiyah]

By Abu ‘Abdillah Huda Barokallohu fiih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *